![]() |
Sutriawan. |
Sebagai contoh :
Bahasa Iindonesia Bahasa Bima
Tanah Bima Dana Mbojo
Bahasa Bima Nggahi Mbojo
Orang Bima Dou Mbojo
Sultan Bima Sangaji Mbojo
Kuda Mbojo jara Mbojo
Tidak boleh dibolak balik menjadi :
Tanah Mbojo Dana Bima
Ngahi Bima Bahasa Mbojo
Dou Bima Orang Mbojo
Sultan Mbojo Sangaji Bima
Kuda Mbojo Jara Bima
Lazimnya pemberian nama suatu wilayah atau daerah bertujuan untuk mengabadikan suatu kejadian penting atau orang penting, nama mengandung nilai-nilai etik dan sejarah bagi masyarakat pencetusnya. Dengan kandungan nilai demikian, mendorong hasrat ingin tahu, kejadian penting apa gerangan yang telah terjadi dan siapa tokoh yang diabadikan namanya.
Menurut H. Abdullah Tajib BA. Bahwa nama Bima dipergunakan untuk mengabdikan nama sang Bima, sang Bima adalah tokoh sejarah daerah ini yang berasal dari luar daerah, ia dinyatakan sebagai raja di daerah ini. Keturunan sang Bima mempunya hak sah atas tahta kerajaan secara turun temurun, wilayah yang dikuasai sang bima disebut dengan nama kerajaan Bima. Nama Mbojo menurut pendapat sementara orang berasal dari istilah bahasa Bima “Babuju”. Babuju ialah tanah ketinggian busut jantan yang besar. Tanah semacam itu dalam bahasa Bima disebut dana ma babuju, pada dana ma babuju dijadikan tempat pelantikan raja yang dilalukan diluar istana (Bima : tuha). Dari istilah itu kemudian perubahan pengucapan manjadi babuju dan selanjutnya menjadi mbjo, dari perubahan dan pengausan ucapan istilah tersebut daerah ini disebut Mbojo.
Menurut cerita rakyat, sebagai salah satu sumber sejarah perlu di kaji dan ditimba maknannya dan diberikan interpretasi, legenda tentang kedatangan sang bima dipulau satonda, barangkali dapat memberikan jawaban kepada rasa ingin tahu tentang nama Mbojo. Disebut dalam kitab BO bahawa sang bima dipulau satonda bertemu pandang dengan seekor naga bersisik emas, sang naga itu melahirkan puteri yang rupawan, Peteri Tasi Sari Naga Nama nya. Puteri Tasi Sari Naga di kawini dan melahirkan dua orang putera yang bernama indra zambrut dan indra komala. Kedua putera sang bima tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja bima.
Menjadi kebiasaan di Bima untuk memberikan nama seorang anak disesuaikan dengan jenis kelamin dan sifat nya, sebagai nama panggilan sehari-hari, nama yang sebenarnya dipakai pada saat tertentu saja, seorang anak laki laki diberi nama panggila La Mone atau La One padahal nama sebenarnya Si Anhar Misalnya. Demikian pula nama seorang anak perempuan dengan nama panggilan La Siwe atau La Iwe padahal nama sebenarnya Si Ani. Anak yang malas diberi nama panggilan La Daju (Bima : Mone = Laki-Laki, Siwe = Perempuan, Daju = malas ).
Kebiasaan yang sama untuk menyebut nama isteri dan suami tiada lazim seorang suami atau isteri menyebutkan nama sebenarnya dari pasangannya kepada orang lain, suami akan menyebut nama isterinya dengan sebutan siadoho siwe. Isteri menyebut nama suami nya dengan sebutan dou doho mone atau keduanya menyebutnya dou di uma. Kebiasaan seperti ini sebagai pertanda saling menghormati.
Sang bima melalui perkawinan nya tentu akan menyesuaikan diri dengan tatakrama bima, maka sang Bima harus menyebut nama isteri nya Tasi sari Naga dengan sebutan Siadoho Siwe. Bagi sang bima ketentuan itu bukanlah hal yang baru sama sekali. Dinegerinya Tanah Jawa menyebutnya dengan cara demikian lumrah, dengan sebutan bojo Sang Bima tidak menggunakan kata sia doho siwe untuk memperkenalkan isteri nya kepada orang lain, melainkan sebutan bojo, yang berasal dari bahasa Jawa dengan pengucapan “Mbojo”.
Tokoh puteri Tasih sari naga berperan sebagai kualisator kesatuan dan persatuan dalam pembaruan itu, sehingga betul betul luluh menjadi kesatuan yang bulat yang menjelmakan wajah baru yakni kerajaan bima. Dalam suasana kekeluargaan yang sudah terjalin, sang bima melakukan tidakan politik yang seimbang,. Untuk menghormati isterinya selaku pemilik awal dari daerah yang dikuasakan padanya. (Parthiwi), Ia mengabadikan nama isterinya atau bojonya atas daerah kekuasaan dengan memberi nama “Mbojo” atau “Dana Mbojo”.
Sang bima bersama mbojonya telah meletakan dasar yang kukuh dalam saling menghormati dan harmonis demi menjamin kelangsungan keturunannya kelak sebagai pewaris kekuasaan di tanah Bima atau dana Mbojo.
Kata Bima dan Bojo dalam pengucapa jawa berbunyi mBima dan mBojo. Lalu bagaimana dengan pengucapan Orang Bima. ? Hal itu akan dijelaskan dengan anatomi sebagai berikut :
Suku kata bi dari kata Bima, Konsonan Bibir b dan huruf vokal i dibunyikan dengan gigi tertutup. Maka awalan huruf asal m tidak kedengaran dengan jelas, hilang dalam pengucapan orang Bima, tetap diucapkan seperti kata semula sehingga pengucapan mBima (Jawa) di ucapkan Bima (Bima).
Suku kata bo dalam kata bojo, konsonan bibir b dengan huruf vokal o dibunyika dengan membulatkan mulut dan gigi terbuka. maka awalan huruf naval m dalam pengucapan jawa dapat dipertahankan tetap bersuara dalam pengucapan orang bima sehingga pengucapan mBojo (Jawa) tetap diucapkan mBojo (Bima).
Dengan anatomi diatas jelas pengucapan Bima dan Bojo menjadi Bima dan Mbojo.
Penulis: Sutriawan
Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.
NB:
Tulisan ini dibuat sebagai syarat mengikuti Kegiatan Workshop Penulisan pada tanggal 23-24 April 2016, bertempat di Gedung Pelatihan Kementerian Dalam Negeri Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Mahasiswa Pascasarjana (PUSMAJA) Mbojo-Yogyakarta. Tulisan ini diterbitkan dikarenakan PEWARTAnews.com merupakan salahsatu media partner dalam acara tersebut.
Posting Komentar
Komentar netizen merupakan tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi. Kami berhak mengubah atau menghapus komentar yang mengandung intimidasi, pelecehan, dan SARA.